Deteksi Plagiarisme AI vs AI: Siapa yang Lebih Unggul?

  • Aug 12, 2025
  • Firdaus
  • Informasi

 

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pendidikan dan literasi digital, isu plagiarisme semakin kompleks. Jika dulu pelanggaran karya tulis hanya terbatas pada salin-tempel dari sumber manusia, kini kemunculan teks buatan AI menambah tantangan baru. Menariknya, kini deteksi plagiarisme pun mulai mengandalkan AI—muncullah fenomena yang disebut “AI vs AI” dalam pertempuran keaslian karya tulis.


Plagiarisme di Era AI Generatif

Sejak kemunculan berbagai model AI generatif seperti ChatGPT, Gemini, dan Claude, banyak pelajar, mahasiswa, bahkan profesional yang memanfaatkan teknologi ini untuk menulis esai, laporan, hingga naskah ilmiah. Meski praktis dan efisien, penggunaan AI yang tidak disertai atribusi atau pemahaman terhadap etika akademik menimbulkan risiko plagiarisme.

“Banyak naskah yang tampaknya orisinal, tapi ketika dianalisis dengan detektor AI, ternyata hanya hasil parafrase dari ribuan tulisan serupa,” jelas Dr. Wicaksono, pakar etika digital dari Universitas Brawijaya Malang.


AI Detektor vs Teks Buatan AI

Berbagai platform pendeteksi plagiarisme kini mulai menggunakan AI juga, seperti Turnitin AI Detection, GPTZero, dan Copyleaks. Detektor ini tidak hanya membandingkan teks dengan basis data jurnal dan internet, tapi juga menganalisis pola penulisan yang khas AI: konsistensi tata bahasa, struktur kalimat, dan tingkat “randomness” atau keunikan gaya.

“Misalnya, AI generatif cenderung menggunakan struktur kalimat yang terlalu sempurna atau terlalu netral, sementara tulisan manusia memiliki variasi gaya yang lebih personal,” kata Diah Rukmini, pengembang aplikasi deteksi teks AI lokal di Malang.

Namun, para pengguna AI juga semakin pintar. Dengan bantuan tool AI lain yang dapat memanipulasi gaya penulisan agar menyerupai tulisan manusia, proses deteksi pun menjadi semakin sulit. Inilah mengapa pertarungan “AI vs AI” menjadi menarik dan menantang.


Dampak di Dunia Pendidikan

Banyak dosen dan guru di Malang mulai mengadopsi deteksi AI dalam sistem pengumpulan tugas. Salah satu SMA di kawasan Lowokwaru bahkan mewajibkan siswa melampirkan laporan orisinalitas AI pada setiap tugas esai.

“AI sangat membantu, tapi tetap harus ada tanggung jawab dari pengguna. Bukan berarti boleh menyalin mentah-mentah lalu mengaku sebagai karya pribadi,” ujar Eko Prasetyo, guru Bahasa Indonesia.


Solusi Etis dan Masa Depan Evaluasi

Untuk mengatasi fenomena ini, pendekatan edukatif tetap menjadi kunci utama. Sekolah dan perguruan tinggi perlu memberikan literasi digital dan etika akademik yang kuat agar siswa tidak sekadar mengandalkan teknologi tanpa memahami batasannya.

Beberapa kampus juga mengembangkan sistem gabungan: AI deteksi plagiarisme + penilaian manual oleh dosen untuk menjamin keakuratan dan keadilan.


Kesimpulan

Fenomena AI vs AI dalam deteksi plagiarisme adalah cerminan dunia digital yang terus bergerak maju. Teknologi bukan musuh, melainkan alat yang harus digunakan secara bertanggung jawab. Di masa depan, keaslian karya bukan hanya soal isi, tapi juga integritas dalam proses penciptaannya. Di tengah “perang sunyi” antar algoritma, manusia tetap perlu menjadi pengendali utamanya.