Puisi dari AI: Ekspresi atau Tiruan?

  • Aug 14, 2025
  • Firdaus
  • Informasi

 

Di era kecerdasan buatan (AI) yang semakin canggih, batas antara kreativitas manusia dan mesin mulai kabur. Salah satu fenomena yang tengah ramai diperbincangkan di dunia sastra digital adalah kemunculan puisi yang ditulis oleh AI. Dari soneta bergaya Shakespeare hingga haiku modern, mesin kini mampu menyusun bait-bait indah yang secara sekilas tak kalah dari karya manusia. Namun, muncul satu pertanyaan penting: apakah puisi dari AI merupakan bentuk ekspresi sejati, atau hanya tiruan algoritmik?


AI Penyair Digital

Berbagai platform penulisan kini menyematkan fitur AI writer yang dapat menghasilkan puisi dalam hitungan detik. Cukup dengan memberikan tema seperti “kesepian malam” atau “cinta tanpa kata”, AI akan menampilkan hasil puisi lengkap dengan rima, metafora, bahkan gaya khas penyair tertentu.

Di Malang, komunitas literasi “Sajak Pagi” mengaku mulai menggunakan AI sebagai inspirasi dalam menulis. “Kami tidak melihat AI sebagai ancaman, tapi sebagai alat bantu kreatif,” kata Danu Hartono, pendiri komunitas tersebut. “Kadang hasilnya bisa sangat puitis dan menyentuh, walau terasa agak ‘kosong’ secara emosional.”


Ekspresi atau Simulasi?

Perdebatan muncul di kalangan penyair dan akademisi. Sebagian menganggap bahwa puisi adalah bentuk ekspresi terdalam manusia, lahir dari pengalaman, perasaan, dan kesadaran. AI, di sisi lain, hanya mengandalkan data, pola bahasa, dan pembelajaran statistik.

“Puisi dari AI itu seperti lukisan indah tanpa pelukis,” ujar Dr. Hesti Anjarsari, dosen sastra di Universitas Negeri Malang. “Ia bisa meniru bentuk, tapi tidak merasakan. Ia paham kata 'rindu', tapi tidak pernah ditinggalkan. Maka kita harus membedakan antara puisi sebagai struktur bahasa dan puisi sebagai luapan rasa.”

Namun, di sisi lain, tak sedikit yang melihat puisi dari AI sebagai bentuk baru dari eksperimen literasi. Dalam pandangan ini, AI bukan pesaing, melainkan cermin yang memantulkan cara manusia berbahasa dan berkarya.


AI dan Penulis Muda

Menariknya, generasi muda justru lebih terbuka terhadap kolaborasi manusia-mesin. Banyak penulis pemula di Malang mulai memanfaatkan AI sebagai “pemantik ide”. Mereka menulis setengah bait, lalu meminta AI melanjutkannya. Hasilnya sering kali mengejutkan, bahkan menginspirasi revisi lanjutan.

“Buat saya, AI bukan penyair. Tapi dia bisa jadi teman menulis,” kata Rena Yuliana, pelajar SMA yang rutin mempublikasikan puisi di platform digital. “Saya tetap memilih baris mana yang terasa jujur dan punya makna.”


Penutup: Seni dan Masa Depan

Pada akhirnya, pertanyaan apakah puisi AI adalah ekspresi atau tiruan mungkin tidak memiliki jawaban tunggal. Dunia seni selalu berkembang bersama zaman. Seperti kamera dulu dianggap menyaingi pelukis, kini AI dianggap meniru penyair. Namun esensi seni tetap kembali pada manusia: siapa yang membaca, siapa yang tersentuh, dan apa makna yang tertinggal.

Puisi dari AI boleh saja ditulis tanpa perasaan, tapi pembacalah yang akan menghidupkannya. Dan mungkin, di situlah letak keajaiban sejatinya.