SDM Bermental Calo: Penyakit Kronis yang Masih Dijadikan Profesi Mulia
- May 18, 2025
- FERINDA ARIS SUZANDI
- EDUKASI DAN LITERASI

Di tengah semangat pembangunan dan pelayanan publik yang transparan, masih saja ada satu jenis spesies sosial yang bertahan dengan gigih: SDM bermental calo. Mereka bukan pejabat, bukan tokoh masyarakat, tapi entah bagaimana selalu muncul saat ada urusan, membawa map lusuh dan bisikan manis: “Kalau mau cepat, saya bantu jalur belakang.”
Fenomena ini seperti jamur di musim hujan—muncul tak diundang, tumbuh di sela-sela birokrasi, dan susah diberantas. Ironisnya, sebagian dari kita masih menganggap keberadaan mereka sebagai "penolong." Padahal, dalam diam, mereka menanam budaya malas, menumbuhkan mental ketergantungan, dan memupuk sistem yang tumpul terhadap integritas.
SDM bermental calo biasanya punya tiga ciri khas:
- Datang duluan, tapi bukan untuk antre. Mereka nongkrong dengan penuh wibawa, seolah-olah bagian dari sistem, padahal hanya bagian dari kebiasaan buruk.
- Tahu jalan pintas, meski tak pernah tahu prosedur. Mereka bangga bukan karena paham aturan, tapi karena kenal orang dalam.
- Ngaku membantu, tapi diam-diam memalak. Tentu dengan kalimat legendaris, “Seikhlasnya aja, tapi biasanya segini…”
Budaya seperti ini harus dihentikan, bukan dengan poster larangan, tapi dengan kesadaran kolektif. Edukasi publik harus menyentuh ranah mental—bahwa membantu bukan berarti memungut, dan melayani bukan berarti memanfaatkan.
Mari bangun SDM yang kuat bukan karena ‘kenal orang dalam’, tapi karena paham aturan luar. Karena pada akhirnya, bangsa ini tidak butuh lebih banyak calo berkemeja rapi, tapi butuh lebih banyak warga yang berani jujur, bahkan saat tak ada yang mengawasi.