Pernikahan Dini: Ancaman Bagi Masa Depan Anak Dari Segi Kesehatan dan Kejiwaan

  • May 07, 2025
  • Abdilla Mahardika
  • EDUKASI DAN LITERASI

Perkawinan Dini: Ancaman Bagi Masa Depan Anak dari Segi Kesehatan dan Kejiwaan 

Perkawinan usia dini, atau yang lebih dikenal sebagai perkawinan anak, adalah kondisi ketika seorang anak yang belum mencapai usia dewasa secara hukum menikah, baik karena pilihan sendiri, tekanan keluarga, maupun faktor budaya. Di Indonesia, praktik ini masih sering terjadi, terutama di daerah pedesaan. Padahal, perkawinan anak menyimpan banyak risiko serius, baik dari segi kesehatan fisik, psikologis, hingga masa depan sosial dan ekonomi anak yang bersangkutan.

Dampak Kesehatan Fisik

Secara biologis, tubuh anak—terutama perempuan—belum siap untuk menjalani kehamilan dan persalinan. Usia remaja masih merupakan masa pertumbuhan, sehingga bila seorang anak hamil terlalu dini, risiko komplikasi kehamilan seperti preeklamsia, perdarahan, kelahiran prematur, dan bahkan kematian ibu dan bayi meningkat drastis.

Anak perempuan yang hamil di usia muda juga cenderung kekurangan nutrisi karena tubuhnya harus berbagi asupan dengan janin, padahal ia sendiri masih dalam tahap perkembangan. Hal ini dapat menyebabkan gangguan tumbuh kembang, baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.

Dampak Psikologis dan Sosial

Selain dampak fisik, perkawinan anak juga membawa beban psikologis yang berat. Anak yang menikah muda cenderung belum matang secara emosional. Mereka belum siap memikul tanggung jawab sebagai pasangan suami-istri, apalagi sebagai orang tua. Hal ini bisa memicu stres, depresi, bahkan kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam banyak kasus, anak-anak yang menikah muda juga harus putus sekolah. Akibatnya, mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Terlebih lagi, mereka juga kehilangan masa remaja yang seharusnya menjadi waktu untuk belajar, bermain, dan mengembangkan diri.

Regulasi Hukum di Indonesia

Untuk mencegah perkawinan anak, pemerintah Indonesia telah memperbarui undang-undang yang mengatur batas usia perkawinan. Berikut beberapa poin pentingnya:

  1. Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

  2. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan: "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun."

  3. Namun, dalam ayat (2), tetap disebutkan adanya kemungkinan dispensasi oleh pengadilan atas alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti yang cukup, namun ini dilakukan melalui proses ketat dan dengan melibatkan pertimbangan dari berbagai pihak termasuk ahli psikologi.

Perubahan batas usia ini diharapkan bisa menekan angka perkawinan anak dan memberi kesempatan bagi generasi muda untuk tumbuh dengan optimal, baik secara fisik maupun mental.

Peran Masyarakat dan Edukasi

Pencegahan perkawinan anak bukan hanya tugas pemerintah. Edukasi kepada masyarakat luas, terutama orang tua, sangat penting. Banyak kasus terjadi karena orang tua merasa bahwa menikahkan anaknya adalah jalan keluar dari kemiskinan atau untuk menjaga kehormatan keluarga. Padahal, solusi ini justru dapat menjerumuskan anak ke dalam lingkaran masalah baru.

Peran guru, tenaga kesehatan, tokoh agama, dan lembaga swadaya masyarakat sangat dibutuhkan dalam memberikan pemahaman yang benar tentang dampak buruk perkawinan usia dini. Program edukasi kesehatan reproduksi, perlindungan anak, serta kampanye kesetaraan gender perlu digalakkan sejak dini.


Perkawinan anak bukan hanya soal budaya atau tradisi, tetapi menyangkut masa depan generasi bangsa. Mari bersama mencegahnya dengan edukasi, pemahaman hukum, dan dukungan penuh terhadap hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.