Lukito dan Idul Fitri : Sebuah Cerita Pendek

  • Mar 09, 2025
  • Abdilla Mahardika
  • HIBURAN

Lukito duduk termenung di sudut masjid, matanya menatap ke lantai seakan mencari jawaban dari masalah yang menghimpit dirinya. Sore itu, suara adzan baru saja berkumandang, namun ia masih enggan pulang ke rumah. Meskipun masjid yang biasa ia kunjungi ini menjadi tempat yang menenangkan, namun hatinya tetap gelisah. Hari raya Idul Fitri semakin dekat, dan ia merasa semakin terjepit oleh keadaan.

Lukito adalah seorang bapak dengan tiga anak: Tika yang sudah duduk di bangku SMP, Rudi yang masih di SD, dan Tini yang baru berusia empat tahun. Istrinya, Rumini, adalah wanita yang sabar dan setia menemani perjuangan hidup mereka. Namun, meskipun Rumini selalu mendukungnya, Lukito merasa tak bisa lagi mengandalkan dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Sudah beberapa bulan ini, pekerjaan yang ia miliki sebagai buruh bangunan terhenti. Proyek yang biasa memberinya penghasilan berhenti begitu saja setelah kondisi ekonomi memburuk. Lukito berusaha mencari pekerjaan lain, tapi hampir setiap usaha selalu berujung pada kekecewaan.

"Pekerjaan apa lagi yang bisa saya dapatkan? Jika ada, mengapa tak ada yang membuka lowongan?" pikirnya dalam hati. "Hari raya sebentar lagi, dan aku tak tahu harus bagaimana. Rumini, anak-anak, semua menantikan suasana yang berbeda dari tahun lalu. Tapi bagaimana bisa memberikan kebahagiaan jika aku sendiri tidak bisa memberi apa-apa?"

Hari itu, setelah selesai salat ashar, Lukito masih bertahan di masjid. Ia lebih memilih berada di sini daripada pulang ke rumah yang semakin menambah berat pikirannya. Di dalam masjid, meskipun ramai orang, ia merasa lebih tenang. Banyak jamaah yang sibuk berbincang atau bersiap untuk salat, namun Lukito hanya duduk diam, meresapi setiap kata yang disampaikan oleh imam saat khotbah.

Setelah khotbah selesai, Lukito terdiam sejenak, menatap lantai masjid yang sejuk. Keringat dingin mulai muncul di dahinya. Ia ingin sekali memberitahu istrinya tentang keadaan ini, namun ia takut jika itu akan membuat Rumini semakin cemas. Apalagi, beberapa hari lagi hari raya akan tiba. Biasanya, di saat-saat seperti ini, ia selalu bisa membawa pulang sedikit uang untuk membeli pakaian baru atau sekadar membeli bahan makanan untuk dimasak oleh Rumini. Namun kali ini, ia tak tahu harus bagaimana.

"Ya Allah, berikanlah jalan keluar untuk hamba-Mu yang sedang terpuruk ini," bisiknya pelan, memohon dalam hati.

Sejenak, matanya tertuju pada seorang jamaah tua yang sedang duduk di sampingnya. Jamaah itu tampak tenang, dengan wajah yang penuh kebijaksanaan. Tanpa sengaja, pandangan mereka bertemu, dan lelaki tua itu tersenyum kepadanya. Lukito merasa sedikit aneh, namun rasa kesulitan yang ia rasakan seolah teralihkan oleh senyum itu.

"Masih di sini, Nak?" tanya jamaah tua itu dengan suara lembut.

"Ah, iya, Pak. Saya hanya... ingin sedikit merenung," jawab Lukito dengan suara pelan.

"Jangan terlalu lama di sini, Nak. Nanti keluargamu menunggu di rumah," kata jamaah itu sambil menatapnya penuh makna. "Jika kamu merasa kesulitan, cobalah untuk lebih banyak bersyukur. Tuhan selalu memberikan jalan bagi mereka yang bersabar."

Lukito terdiam mendengarnya. Kata-kata itu terasa menyentuh hatinya. Ia tersadar, selama ini ia terlalu fokus pada masalahnya sendiri hingga melupakan untuk bersyukur atas apa yang masih ia miliki—istrinya, anak-anaknya, dan bahkan masjid ini yang menjadi tempat ia menenangkan diri.

Setelah beberapa saat, Lukito akhirnya memutuskan untuk pulang. Meskipun langkah kakinya terasa berat, namun ada sedikit ketenangan dalam hatinya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi ia tahu bahwa apapun itu, ia harus tetap berusaha dan bersyukur. Sesampainya di rumah, ia melihat Rumini sedang sibuk menyiapkan makanan. Tika, Rudi, dan Tini bermain di halaman depan, tertawa riang.

"Lukito, kamu kenapa?" tanya Rumini dengan cemas saat melihat suaminya masuk tanpa sepatah kata pun.

Lukito menatap Rumini, lalu tersenyum lemah. "Tidak apa-apa, sayang. Aku hanya sedikit berpikir. Mari kita hadapi ini bersama-sama."

Rumini mengangguk, meskipun di matanya tergambar kecemasan. Lukito menghembuskan napas panjang dan merasakan ketenangan yang mulai mengisi dadanya. Mungkin hari raya kali ini tidak seperti yang ia harapkan, tetapi yang terpenting adalah keluarga yang masih ada, yang selalu mendampinginya dalam setiap langkah kehidupan.

Sambil mendekat, Lukito merangkul Rumini dan anak-anaknya. "Kita akan baik-baik saja," katanya, meskipun ia sendiri tidak tahu bagaimana ke depan. Tetapi, satu hal yang pasti, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mereka, dengan penuh kesabaran dan harapan.