Legenda Dusun Sumbersari: Mitologi Ki Ageng Prawirosari dan Nyi Ageng Prawirosari Serta Legenda Mbah Kyai dan Mbok Nyai Sahil

  • May 21, 2025
  • Abdilla Mahardika
  • SOSIAL KEMASYARAKATAN , TRADISI DAN BUDAYA

Legenda Dusun Sumbersari

Di masa silam, ketika bumi Malang selatan masih dikelilingi hutan lebat yang belum tersentuh tangan manusia, hiduplah sepasang suami istri bernama Ki Ageng Prawirosari dan Nyi Ageng Prawirosari. Keduanya adalah sosok bijaksana yang dikenal memiliki kekuatan batin luar biasa, serta tekad kuat untuk membuka lahan baru demi membangun kehidupan yang damai dan makmur bagi keturunannya.

Dengan restu para leluhur dan tuntunan wahyu yang mereka terima dalam tapa brata, Ki Ageng dan Nyi Ageng memutuskan membabat alas angker yang kala itu disebut Alas Wanasari. Hutan itu terkenal angker dan penuh misteri—dihuni oleh harimau putih, ular naga, dan makhluk halus penunggu pohon besar. Namun Ki Ageng dan Nyi Ageng tak gentar. Mereka percaya bahwa tanah itu telah dipilih untuk menjadi tempat baru yang membawa berkah.

Hari demi hari, dengan kapak kayu dan doa-doa leluhur, Ki Ageng menebang pohon dan membuka jalan, sementara Nyi Ageng menanam berbagai tanaman dan membersihkan mata air yang mereka temukan di tengah hutan. Mata air itu jernih dan sejuk, tak pernah kering meski musim kemarau melanda. Penduduk sekitar menyebutnya “Sumber.”

Namun keanehan mulai terjadi. Setiap malam Jumat Legi, mata air itu mengeluarkan air berwarna merah darah. Bukan air yang menakutkan, melainkan air yang harum dan menyegarkan. Menurut kepercayaan Jawa, air itu disebut “Sari”, inti dari segala unsur kehidupan bumi. Dari situlah kemudian wilayah itu diberi nama Sumbersari—“Sumber yang mengeluarkan Sari kehidupan.”

Setelah bertahun-tahun membangun, wilayah hutan itu berubah menjadi sebuah perkampungan kecil yang damai dan subur. Warga berdatangan, membangun rumah, menanam jagung dan bermacam-macam tumbuhan yang bisa dijadikan makanan pokok serta beragam jenis sayuran, dan hidup rukun di bawah bimbingan Ki Ageng dan Nyi Ageng.

Namun suatu malam yang hening, saat langit tertutup kabut tipis dan bau harum bunga kenanga tercium dari segala penjuru, Ki Ageng dan Nyi Ageng mengajak para warga berkumpul. Dengan suara lembut namun berwibawa, Ki Ageng berkata:

“Waktuku dan Nyi Ageng telah tiba. Kami tak mati, namun akan menyatu dengan alam. Jangan tangisi kami, sebab kami akan tetap menjaga tanah ini.”

Dan benar saja, di tengah pertigaan jalan menuju Sumberputih dan Grangsil, keduanya muksa—menghilang secara gaib tanpa jejak, hanya menyisakan sebatang pohon ringin besar yang kemudian dikenal sebagai Danyang Ringinsari, petilasan keramat yang hingga kini dipercaya sebagai tempat bersemayam roh penjaga Dusun Sumbersari.

Tahun-tahun berlalu. Kehidupan di Sumbersari terus berkembang, namun masyarakat masih menganut kepercayaan lokal dan kejawen. Hingga datanglah seorang ulama dari tanah seberang bernama Mbah Kyai Sahil bersama istrinya, Mbok Nyai Sahil. Dengan kesabaran dan ilmu agama yang dalam, beliau mulai memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat Sumbersari.

Tidak dengan paksaan, melainkan dengan pendekatan budaya, tradisi, dan kasih sayang. Beliau menghormati leluhur setempat dan bahkan sering berziarah ke petilasan Danyang Ringinsari. Dalam ceramahnya, Kyai Sahil sering berkata:

“Islam datang bukan untuk menghapus budaya, tetapi menyucikannya. Sumber ini tetaplah anugerah, dan sari itu adalah tanda kebesaran-Nya.”

Berkat bimbingannya, masyarakat Sumbersari mulai mengenal syariat, shalat, zakat, dan puasa. Meski begitu, nilai-nilai kearifan lokal tetap dijaga, menciptakan harmoni antara tradisi dan agama. Hingga akhir hayatnya, Mbah Kyai Sahil dan Mbok Nyai Sahil dimakamkan di tengah-tengah pemakaman dusun, dan hingga kini makam itu masih diziarahi oleh para tetua dan tokoh masyarakat setiap malam Jumat Legi—malam sakral bagi masyarakat dusun Sumbersari.

Waktu terus berjalan, hingga masa penjajahan Belanda datang. Dalam catatan kolonial, wilayah Sumbersari tercatat sebagai sebuah desa mandiri. Namun seiring perkembangan zaman, wilayah Dusun Jambangan menjadi lebih ramai dan menjadi pusat aktivitas ekonomi dan pemerintahan. Maka, atas keputusan pemerintah kolonial, pusat desa dipindah ke  dusun Jambangan. Desa Sumbersari diubah menjadi sebuah dusun bagian dari desa Jambangan, sementara Dusun Jambangan diubah menjadi Dusun Krajan.

Namun meski secara administratif berubah, masyarakat tak pernah melupakan akar sejarahnya. Nama Sumbersari tetap hidup di hati, diwariskan dari cerita lisan, dari ziarah ke makam para leluhur, dari mata air yang setiap Jumat Legi masih memancarkan sari merah—tanda bahwa tanah ini diberkahi sejak awal.

Hingga kini, cerita tentang Ki Ageng dan Nyi Ageng Prawirosari, serta Mbah Kyai dan Mbok Nyai Sahil, terus diceritakan dari generasi ke generasi. Menjadi legenda yang tidak hanya menjelaskan asal-usul sebuah dusun, tetapi juga mengajarkan nilai keberanian, keharmonisan, dan keimanan yang mendalam.