Fenomena Film Walid "Bid'ah": Antara Dakwah, Kritik Sosial, dan Kontroversi

  • Apr 15, 2025
  • FERINDA ARIS SUZANDI
  • EDUKASI DAN LITERASI, TRADISI DAN BUDAYA, KEAGAMAAN

Film Bid'ah belakangan ini menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media sosial. Sejak dirilis dan dibagikan secara luas, film ini memancing reaksi beragam dari masyarakat. Sebagian besar netizen mengapresiasi keberanian film ini dalam mengangkat isu yang dianggap tabu: relasi antara pendakwah, jamaah, dan dinamika psikologis di balik ceramah agama. Namun, tidak sedikit pula yang merasa tersinggung atau tidak nyaman dengan pesan yang disampaikan.

Disutradarai oleh Nurman Hakim, Walid berkisah tentang seorang pendakwah muda karismatik yang menghadapi berbagai realita sosial di tengah popularitasnya yang meningkat. Film ini menyentuh sisi lain dari dunia dakwah—bukan sekadar ceramah dan majelis ilmu, tapi juga godaan popularitas, kekaguman berlebihan dari jamaah, dan batas-batas yang sering kali kabur antara dakwah sebagai misi suci dan dakwah sebagai tontonan.

Reaksi masyarakat pun terbelah. Di satu sisi, banyak yang menyebut film ini sebagai “tamparan halus” bagi sebagian oknum pendakwah maupun jamaah yang menempatkan pengajian sebagai ajang hiburan atau bahkan objek nafsu spiritual semu. Di sisi lain, beberapa tokoh agama dan komunitas menyayangkan film ini karena dianggap bisa menimbulkan kesalahpahaman tentang dunia dakwah yang sesungguhnya.

Jika ditilik lebih dalam, Walid sebenarnya membuka ruang refleksi: apa niat kita sebenarnya saat menghadiri sebuah pengajian? Apakah benar-benar ingin menuntut ilmu dan memperbaiki diri, atau justru datang karena terpikat dengan persona sang pendakwah?

Fenomena "fangirling" atau kekaguman berlebihan terhadap tokoh agama bukanlah hal baru. Dalam film ini, diperlihatkan bagaimana sebagian jamaah bisa memindahkan fokus dari isi dakwah ke sosok pendakwah itu sendiri. Di sinilah Walid menyorot dengan tajam bahwa dakwah tidak semestinya menjadi panggung personalitas, tapi ruang spiritual yang murni dan jujur.

Meski menuai kritik, film Walid tetap mendapat tempat di hati banyak penonton karena keberaniannya menyuarakan keresahan yang jarang diangkat. Film ini bukan anti agama, bukan pula menyudutkan pendakwah, tapi mencoba menunjukkan bahwa dalam dunia dakwah pun terdapat dinamika yang kompleks, dan masyarakat perlu lebih cermat dalam memaknai apa itu ilmu, siapa yang layak jadi panutan, dan bagaimana menjaga keikhlasan dalam menuntut ilmu agama.

Film Walid sejatinya mengajak penonton untuk tidak hanya melihat agama sebagai ritual dan simbol, tapi sebagai jalan hidup yang menuntut kejujuran hati, baik dari sisi pendakwah maupun jamaah. Dalam era digital ini, ketika pengajian bisa viral dan ustaz menjadi selebritas, Walid menjadi pengingat bahwa niat adalah kunci, dan ilmu seharusnya menjadi tujuan utama, bukan sekadar memuaskan hawa nafsu terselubung.