Aksi Damai Warga Mojorejo Menuntut Transparansi Pengelolaan Dana Desa, ADD dan Pengelolaan Tanah Kas Desa
- Dec 20, 2024
- Abdilla Mahardika
- EDUKASI DAN LITERASI, HIBURAN

Desa Mojorejo, di Kecamatan Kembar, biasanya dikenal karena ketenangannya dan semangat gotong royongnya. Namun pagi itu, Senin yang cerah di bulan Mei berubah menjadi hari yang tak biasa. Ratusan warga berjalan beriringan menuju Balai Desa Mojorejo, membawa spanduk dan suara hati. Mereka tidak marah, mereka hanya ingin kejelasan. Di depan barisan, berdiri tegak Karmaji, tokoh masyarakat yang dihormati karena keberanian dan kejujurannya.
Aksi damai itu dipicu oleh banyak hal yang selama ini dipendam warga. Mereka mempertanyakan penggunaan dana desa, yang setiap tahun anggarannya cukup besar, namun hasilnya tidak pernah benar-benar dirasakan secara adil. Proyek-proyek pembangunan sering muncul begitu saja, tanpa papan proyek, tanpa musyawarah yang terbuka, dan tanpa laporan hasil.
“Kita ini warga desa, kita punya hak untuk tahu uang itu ke mana. Ini bukan milik pribadi!” ujar Karmaji lantang melalui pengeras suara.
Namun bukan hanya dana desa yang jadi sorotan. Warga juga mempertanyakan keberadaan tanah kas desa. Lahan milik desa yang semestinya dimanfaatkan untuk kepentingan umum, justru digunakan tanpa informasi yang jelas. Ada yang menyewanya untuk pertanian, ada yang dibangun semi permanen, namun siapa penyewa, berapa uang sewanya, dan ke mana uang itu mengalir—tidak ada yang tahu pasti.
"Tanah kas desa itu aset publik. Tapi kami warga seperti tak dianggap pemiliknya," seru seorang warga bernama Bu Rini.
Tak kalah menyulut emosi adalah kenyataan bahwa beberapa perangkat desa yang usianya jauh melebihi masa pensiun masih tetap bekerja, bahkan memegang posisi penting. Warga merasa kesempatan untuk regenerasi dan penyegaran organisasi desa terhambat karena posisi tersebut tak pernah digantikan.
“Sudah lebih dari 70 tahun tapi masih saja duduk di kursi perangkat. Ini desa, bukan warisan keluarga!” ujar seorang pemuda dengan penuh semangat.
Tak ketinggalan, masalah pengurusan sertifikat tanah juga turut menjadi bagian tuntutan warga. Proses yang lambat, birokrasi yang rumit, dan tidak adanya pendampingan dari desa membuat banyak warga kesulitan mengurus hak miliknya. Padahal, banyak yang telah menunggu bertahun-tahun tanpa kejelasan.
“Kami hanya ingin dokumen kami jelas. Kenapa dipersulit? Mana peran desa?” keluh Pak Naryo, yang telah menunggu lebih dari 5 tahun untuk sertifikat tanahnya.
Pak Warso, Kepala Desa Mojorejo, akhirnya keluar dari ruangannya setelah sempat menunggu suasana agak tenang. Wajahnya tampak tegang namun tetap mencoba menunjukkan wibawa.
“Saya dengar semua tuntutan panjenengan. Kami akan segera mengadakan forum terbuka untuk menjawab dan menindaklanjuti semua aspirasi. Mohon beri waktu,” ucapnya singkat.
Namun warga tak ingin janji kosong. Mereka meminta dibuatnya tim pengawas desa independen, melibatkan warga dari berbagai unsur—tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, dan RT/RW. Mereka juga menuntut adanya audit tanah kas desa dan pengangkatan perangkat baru yang lebih muda dan kompeten.
Karmaji menutup orasi dengan pernyataan yang membakar semangat.
“Desa ini tidak boleh dikuasai segelintir orang. Ini milik kita semua. Kita bukan datang untuk ribut. Kita datang untuk perubahan.”
Hari itu Mojorejo mencatat sejarah: untuk pertama kalinya warga bersatu menuntut transparansi dan keadilan. Tanpa kekerasan, tanpa amarah, hanya suara hati yang menggelora. Mojorejo sedang bangun—dan kali ini, tidak akan tertidur lagi.