Rupanya Masih Ada "Camilan" Batu Lunak di Kambang Pessel !
- Mar 15, 2025
- Kompasnagari.kim.id
- Agama, Adat & Budaya, Kuliner

Laporan : Haridman
Bagi sebagian orang, mendengar manusia makan batu akan terdengar aneh. Bahkan mungkin terdengar tidak masuk akal jika ada manusia yang mampu makan batu dan jadikan camilan. Eiiit... jangan salah! Jika soal makan batu ditanyakan kepada orang tua kita yang tinggal di pelosok - pelosok, terutama bagi mereka yang terbiasa makan sirih, maka mereka akan menjelaskan dengan gamblang bagai mana batu yang dikonsumsi orang. Batu yang dikonsumsi tersebut bernama batu lunak.
Batu lunak berasal dari jenis tanah mirip tanah liat kering berwarna agak putih, di lain daerah dikenal dengan batu napa . Biasanya jenis batu ini terdapat di kawasan perbukitan dan di hulu – hulu sungai. Cara mengambilnya dengan memahat atau mencongkel bila lengket di batu lain, namun ada kalanya bisa didapatkan di sungai dengan cara menyelam. Dan tidak pula semua orang mengetahi mana batu yang layak konsumsi mana pula yang tidak.
Di Pesisir Selatan rupanya, batu untuk dikonsumsi ini masih dimanfaatkan orang meski terkadang bertentangan dengan ilmu kesehatan. Konsumen batu lunak tidak tergilas modernisasi. Berdasarkan pantauan penulis, masyarakat yang mengkonsumsi batu lunak tersebut tersebar di Kecamatan Sutera, Lengayang, Ranah Pesisir dan Linggo Sari Baganti dan juga terdapat di Batang Kapas.
Iyas (65), warga Sunbaru Nagari Kambang Kecamatan Lengayang merupakan salah satu pedagang batu lunak yang saban pekan menyediakan cemilan kuno tersebut. Ia biasanya menggelar dagangan di Balai Kamis Kambang, Pasar Kambang dan Lakitan. Atau sekali - sekali ke Pasar Surantih.
Menurutnya, batu lunak selalu dibeli warga di tempat ia menggelar dagangan, namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Pembeli umumnya orang tua dan hanya sebagian kecil konsumennya orang muda. Konsumen batu lunak telah menurun drastis sejak 15 tahun lalu.
"Oleh karena konsumen masih ada, saya selalu menyediakan batu lunak dalam jumlah terbatas, sesuai dengan kebutuhan pasar. Batu lunak hanyalah tambahan dagangan, karena selain batu lunak saya juga menjual bunga rampai dan harum haruman tradisional lainnya," kata Iyas.
Iyas menjelaskan, konsumen batu lunak yang dijualnya umumnya untuk dikonsumsi atau dimakan, dan sebagian kecil untuk obat. Rata-rata pembeli memesan sebesar ibu jari kaki. "Agar tidak mengecewakan konsumen, namun caranya saya tetap menyediakan. Saat ini mendapatkan batu lunak memang agak sulit, soalnya penambang atau tukang cari batu lunak sudah sangat terbatas," katanya.
Batu lunak menurut Iyas, biasanya diperoleh dari Koto Pulai Kambang atau dari Ranah Pesisir. “Di dua tempat itu batu lunak dianggap bagus dan enak, makanya untuk memasok batu lunak saya percayakan kepada penambang atau pencari batu yang sudah ahli,” katanya Iyas sambil menunjukkan batu lunak yang telah jadi.
Dijelaskannya, sebelum dijual, batu lunak harus diproes lebih dahulu. Bongkahan batu di pecah menjadi ukuran sebesar ibu jari kaki. Lalu setelah itu dibakar di atas tungku hingga terjadi perubahan warna dan aroma. Warna batu akan berkarat dan aromanya seperti kue sagun bakar.
"Jadi tidak bisa dijual langsung ke konsumen. Tujuan dibakar supaya kuman atau bakteri yang berkemungkinan hinggap di batu musnah. Selain itu juga bertujuan untuk menciptakan aroma batu menjadi harum. Saya juga dapat menebak kapan stok batu habis, dan selanjutnya saya akan menghubungi pencari batu di dua tempat tersebut, bila tidak ada di Koto Pulai, ya, di Balai Selasa," katanya.
Inas (63) warga Kambang Barat, salah satu konsumen batu lunak menyebutkan, ia sudah terbiasa mengonsumsi batu semenjak saat masih remaja. Kebiasan itu diwarisi dari ibu dan neneknya. Memang benar, semenjak ia mengkonsumsi batu lunak tidak dirasakannya berdampak pada penurunan kesehatannya.
"Ya hingga kini saya masih mengkonsumsinya terutama bila maka sirih. Tidaklah lengkap kiranya bila makan sirih tidak disertai batu lunak. Oleh karena itu setiap hari balai saya membelinya. Bagi anak sekarang makan batu memang akan terdengar aneh, tapi bagi saya tidak," katanya.
Mengenai rasa batu Inas menyebutkan, batu lunak yang belum matang atau dibakar rasanya agak sepat atau agak pahit, namun bila melalui proses pembakaran batu akan menjadi harum dan rasanya gurih. "Jangan bayangkan batu lunak sama dengan batu biasa. Batu lunak rapuh seperti kue bawang. Dulu, saat saya masih muda, dalam satu minggu bisa menghabiskan hampir seperdelapan kilo batu, namun kini tidak bisa lagi akibat gigi sudah tidak seperti dulu lagi," katanya.
Selanjutnya, M.Apit (40), juga warga Kambang dalam periode tertentu juga menkonsumsi batu jenis ini. Ia merupakan konsumen termuda. “Saya mengkonsumsinya bukan karena untuk kawan sirih, namun untuk sekedar obat. Kata orang, batu lunak dapat memperbaiki pencernaan,” jelasnya.