Hutan Kita Laksana Kapal Bocor
- Apr 08, 2025
- Kompasnagari.kim.id
- Flora & Fauna

Oleh : Haridman
Masih adakah yang “benar-benar” peduli pada hutan di Pesisir Selatan? Agak sulit menjawabnya. Bak sebuah kapal, Pesisir Selatan kini sudah bocor hebat, lambung kapal tiris dimana-mana. Setiap hari aksi melubangi lambung kapal terus berlangsung.
Perambahan hutan tidak terbendung hampir di seluruh kawasan yang dilindungi di Pessel. Kita menunggu “karam”, atau setidaknya akan selalu menguras kapal bocor dengan cawan kecil sambil “mengusap” dada.
Tidak ada yang bersuara apa lagi bertindak atas kerusakan hebat hutan di negeri kita. Diam saja! Membisu saja, manakala hutan dibabat, dan “melenguh” nyaring minta tolong hingga lenguh terdengar sampai ke “Sijunjung “ bila hujan tiba.
Hutan kita sudah berubah rupa. Dari hutan lebat menjadi hamparan pohon perdu dihilangkan serabut, dibagian tepi hutan berisi tanaman palma. Sedikitpun tidak berguna untuk mitigasi bencana. Setengah juta warga Pessel terdampak pembabatan hutan, 27 ribu hektar sawah selalu dihondoh galodo. Pembabatan hutan adalah usaha pemiskinan massal.
Lalu bagaimana dengan satwa? “Inyiak Balang”, beruang, kambing hutan, tapir, berbagai jenis primata tempat tinggalnya sudah “dirampas”. Tiba-tiba masanya, satwa liar ini memasuki pemukiman dan akhirnya punah.
Konon, hutan yang berubah fungsi menjadi perkebunan (yang dikelola rakyat) di Kawasan Hutan Konservasi Pesisir Selatan sudah lebih dari 40 ribu hektare.
Perkebunan yang paling menggiurkan saat ini adalah gambir. Harganya relatif stabil di pasaran. Kawasan tengah dan bagian selatan Pesisir Selatan sebetulnya tidak ada lahan hutan yang diperuntukkan untuk gambir, namun di depan mata ada lahan “pusaka tinggi” yang membentang luas hingga ke Muara Labuh.
Investasi kita “kecolongan”. Pengusaha atau eksportir gambir yang datang dari luar negeri atau eksportir lokal tidak perlu mengeluarkan duit untuk menguasai lahan untuk menjalankan usahanya, hanya modal dengkul “doang”. “Pengusaha” gambir hanya bermodalkan harga, kemudian mempermainkan harga tersebut, maka kemudian orang akan berduyun-duyun menebang hutan hingga bukit yang “berkabut”.
Sungguh menjadi eksportir gambir tidak perlu “ribet” bertengkar dengan ninik-mamak dan pemerintah. Cukup “suruh” rakyat menduduki hutan dengan harga gambir menggiurkan maka eksportir sebetulnya sudah “menguasai” lahan kita dan mengeksploitasi. Hutan dibabat dan diganti tanaman gambir. Eksportir tidak akan pernah peduli dengan dampak lingkungan.
Celakanya, gambir membutuhkan cadangan lahan untuk mencukupi kebutuhan kayu bahan bakar. Satu hektar gambir membutuhkan satu hingga dua hektar “rimba” pemasok kayu, lokasinya biasanya berdekatan dengan lahan gambir. Jika lahan gambir di Pessel berjumlah 40 ribu hektar maka idealnya dibutuhkan 80 ribu hektar lagi hutan pemasok kayu bakar pengolah gambir. Sungguh daya rusak yang sedang dan telah terjadi sangat mengerikan! “Sebenarnya” kita nyaris tidak punya hutan.
Dari kacamata lain, satu-satunya komoditi ekspor Sumatera Barat yang bisa mengisi peti kemas di Teluk Bayur hingga penuh adalah gambir. Salah satu pemasok terbesarnya adalah Pesisir Selatan selain 50 Kota. Kapal ekspor tidak perlu singgah di pelabuhan lain untuk mengisi muatan. Dan kapalpun berangkat meninggalkan keuntungan semu tapi juga meninggalkan kerusakan alam yang nyata.
Hutan salah satu fungsinya adalah untuk menyimpan udara, terutama pada musim penghujan. Tanpa kita sadari kita telah jahil pada air, bahkan tempatnya “bermukim” sudah kita porak -porandakan dan kita ambil alih, maka sebaliknya air juga akan memporak-porandakan tempat kita bermukim dan mengambil alih pemukiman.
Para pemangku kepentingan, para penegak hukum perlu bersuara lebih sering “mencarah” surat Ar Rum ayat 41.
Allah SWT berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١
Żaharal-fasādu fil-barri wal-baḥri bimā kasabat aidin-nāsi liyużīqahum ba'ḍal-lażī 'amilū la'allahum yarji'ūn
Artinya: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Para pemilik izin juga perlu bekerja keras “menghentikan” aktivitas peladangan gambir di kawasan konservasi dan di hulu-hulu sungai.
Terakhir, hanya kesadaran kolektif yang bisa menghentikan pemusnahan hutan. “Kita jaga alam, alam jaga kita”!