Aso, Bilangan Aseli Kambang yang Hilang?
- May 28, 2025
- Kompasnagari.kim.id
- Agama, Adat & Budaya

Tersebutlah di kampung saya seorang toke padi dan beras yang cukup masyhur. Nama beliau (Ayek) Sahur (alm). Ketika saya Sekolah Dasar, setelah musim panen padi, petani biasanya menjual padi pada beliau, termasuk ibu saya.
Bagian yang paling saya sukai dari menghitung jumlah padi adalah proses “menggantang” menggunakan alat takar yang kami sebut “kuminte” berupa literan besar terbuat dari besi plat. Menghitung kuminte seperti berdendang dan enak didengar.
Setelah kuminte terisi padi dan didatarkan menggunakan tongkat kecil, padi dimasukkan ke dalam karung. Demikian seterusnya dilakukan hingga 20 kali.
Setelah padi pada kuminte pertama selesai, Ayek Sahur menghitung kuminte pertama itu dengan mengucapkan “aso”. Aso beliau ucapkan berulang-ulang hingga kuminte kedua selesai.
Aso, aso, aso, duo, duo, duo, tigo, tigo, tigo … dan seterusnya. Saat menghitung jangan mengganggu beliau, karena bisa terganggu konsentrasinya. Tanpa bertanya pada Ayek Sahur saya sudah paham sendiri bahwa aso artinya adalah satu.
Di Kabupaten Pesisir Selatan setahu saya bilangan satu memiliki sebutan amat beragam. Kawasan bagian utara disebut “ciek”, di kawasan tengah “aso”, di bagian selatan “suah” dan “siji”.
Kini di Nagari Kambang saya tidak mendengar lagi “aso” digunakan untuk menghitung. Mungkin “aso” sudah punah digantikan “ciek” atau sudah berubah jadi satu. Sementara “suah” masih digunakan warga di kawasan eks Pancung Soal.
Di negeri asalnya yakni Muara Labuh, kata aso masih digunakan orang meski untuk nama bangunan, misalnya Masjid 60 Kurang Aso (masjid yang memiliki tiang 59). Untuk menghitung dalam kehidupan sehari-hari di sana tampaknya juga sudah menggunakan “ciek”.(Haridman)